Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Restui Penghentian Penuntutan Berbasis Keadilan Restoratif

JABAROKENEWS.COM, Jakarta – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 6 (enam) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Senin, 2 Juni 2025.

Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Simon Rarungkuan dari Kejaksaan Negeri Bitung yang disangka melanggar Pasal 167 Ayat (1) KUHP tentang Penyerobotan Lahan.

Bahwa Tersangka melakukan tindak pidana penyerobotan lahan tersebut dengan cara Saksi Korban yang membeli objek tanah dari Tersangka pada tanggal 23 September 2024. Namun setelah jual beli rumah tersebut, Saksi Korban belum dapat menguasai atau tinggal di rumah tersebut karena Tersangka yang tinggal di samping rumah milik Saksi Korban sudah lebih menguasai rumah dengan cara masuk karena memiliki akses kunci rumah.

Lalu, menguasai rumah tersebut dan tinggal di dalamnya karena Tersangka tidak mengizinkan Saksi Korban menguasai rumah walaupun sudah menjadi milik Saksi Korban. Hal itu tidak menjadi pertimbangan Tersangka meskipun Saksi Korban telah mengirimkan surat somasi sebanyak 3 kali kepada Tersangka yakni pada tanggal 10 Desember 2024, 16 Desember 2024 dan 20 Desember 2024.

Surat somasi tersebut pada intinya menyatakan bahwa rumah tersebut adalah milik Saksi Korban dan meminta Tersangka agar mau meninggalkan rumah tersebut, namun Tersangka tidak mau mengindahkan surat somasi yang dikirimkan oleh Saksi Korban.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Bitung, Dr. Yadyn, S.H., M.H. dan Kasi Pidum Erly Andika Wurara, S.H. serta Jaksa Fasilitator Arif Salasa, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.

Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Bitung mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara Dr. Andi Muhammad Taufik, S.H., M.H., CGCAE.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin, 2 Juni 2025.

Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 5 (lima) perkara lain yaitu:

  1. Tersangka Kudrat Hamdani alias Kodrat dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Morotai, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang
  2. Tersangka Rezha Vilfort Rumagit dari Kejaksaan Negeri Tomohon, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  3. Tersangka Nur Hadi dari Kejaksaan Negeri Denpasar, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
  4. Tersangka Chandra Hamenda alias Ko Chandra dari Kejaksaan Negeri Bitung, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  5. Tersangka Nal Prison Pgl Inal bin Binu Rusdi dari Kejaksaan Negeri Sijunjung, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

  • Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
  • Tersangka belum pernah dihukum;
  • Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. (Wan)

Sumber: Puspenkum Kejagung RI