Gojek Klarifikasi: Komisi 20 Persen Dibayar Konsumen, Bukan Dipotong dari Mitra Pengemudi

JABAROKENEWS.COM, Jakarta Spanduk bertuliskan ‘Tarif Naik atau Aksi Lanjut!’ membentang lebar di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Selasa (20/5/2025) siang. Di bawah terik matahari, puluhan pengemudi ojek online menepikan motornya, membuka jaket hijau-hitam mereka, dan memulai orasi. Tapi bukan gelombang besar seperti yang dibayangkan—aksi serentak yang semestinya terjadi di berbagai kota justru terpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Sebagian bergerak ke Kementerian Perhubungan, sebagian lain memilih meninggalkan arena setelah api dari ban bekas sempat menyala dan lantas padam.

“Ini bukan soal 20 persen atau tidak. Ini soal transparansi,” ujar Agus Supriadi, koordinator aksi dari Aliansi Ojol Bergerak, kepada media grup Gerbang. Menurut Agus, komponen pemotongan yang dialami pengemudi kian berlapis: mulai dari komisi aplikator, biaya jasa aplikasi, hingga potongan insentif jika target tidak tercapai. “Secara akumulatif, kami bisa kehilangan lebih dari sepertiga pendapatan dari tiap order,” katanya.

Aplikator Punya Versi

Dari sisi lain tembok, aplikator punya narasi sendiri. Catherine Hindra Sutjahyo, Presiden unit bisnis On-Demand Services GoTo, menegaskan bahwa Gojek tetap mematuhi Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022, yang menetapkan pembagian tarif 80 persen untuk mitra pengemudi dan 20 persen untuk aplikator.

“Yang disebut komisi 20 persen itu tidak dipotong dari pendapatan driver, melainkan dibayar oleh konsumen langsung ke aplikator,” kata Catherine dalam pernyataan resmi.

Di luar itu, masih ada biaya jasa aplikasi yang besarannya tidak diatur dalam KM 1001/2022. “Platform fee ini 100 persen dibayarkan konsumen ke aplikator. Itu yang dipakai untuk operasional, teknologi, dan kampanye diskon,” jelasnya.

Diskon menjadi isu panas. Pengemudi menuduh promo besar-besaran justru menekan pendapatan mereka. Tapi Catherine membantah. “Diskon sepenuhnya ditanggung aplikator. Ini bukan subsidi silang dari mitra,” ujarnya.

Namun, benarkah tak ada efek dari kampanye diskon itu terhadap pendapatan pengemudi?

Ketimpangan Tarif dan Realitas Lapangan

Dalam laporan Center for Digital Society UGM tahun 2024, 63 persen mitra ojol menyatakan pendapatannya stagnan bahkan menurun dalam 12 bulan terakhir, meskipun jumlah order tetap. Salah satu sebabnya adalah makin rumitnya komponen pembagian tarif dan intensifikasi penggunaan promo. “Banyak mitra merasa terjebak dalam sistem insentif yang tidak transparan dan berubah-ubah,” kata Auliya Rahman, peneliti dari CfDS.

Di sisi lain, pemerintah belum banyak bergerak. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Hendro Sugiatno, hanya menyebut bahwa pihaknya ‘memantau dinamika’ dan ‘mendorong dialog antara mitra dan aplikator’. Tak ada langkah konkret untuk meninjau ulang peraturan atau membuka transparansi pembagian komisi.

Sementara itu, di tengah kabut diskon dan algoritma yang tak dikenali, ribuan pengemudi mencoba menyuarakan tuntutannya. Tak semua bertahan lama. Seperti yang terlihat di Patung Kuda, sebagian mundur sebelum orasi selesai. Mesin-mesin motor kembali menyala. Satu per satu mereka menjauh, membawa pulang harapan yang belum sepenuhnya terjawab.

Menurut data dari Asosiasi Driver Online (ADO), pendapatan bersih harian pengemudi di Jabodetabek per April 2025 rata-rata Rp 85.000, turun dari Rp 110.000 pada awal 2023.

Jumlah mitra aktif Gojek dan Grab di Indonesia diperkirakan lebih dari 4 juta pengemudi, berdasarkan laporan e-Conomy SEA Google-Temasek-Bain 2024.

Pemerintah belum merilis regulasi khusus terkait platform fee, meski KM 1001/2022 mengatur tarif dasar dan batas atas/bawah tarif layanan.

Jika unjuk rasa berikutnya kembali digelar, pertanyaannya bukan hanya soal jumlah massa, tetapi juga: apakah tuntutan mereka akhirnya bisa menembus algoritma. (ihd)