Pendidikan Gratis dan Keadilan Sosial: Kontribusi Musi Banyuasin dalam Mewujudkan Akses Pendidikan Merata

JABAROKENEWS.COM, Jakarta – Dua puluh tiga tahun lalu, sebuah langkah berani diayunkan dari Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Pada 2002, di bawah kepemimpinan Bupati Alex Noerdin, Muba –sebutan populer daerah itu– mencanangkan sekolah gratis untuk seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah, dari SD hingga SMA. Program ini menjadikannya sebagai daerah pertama di Indonesia yang melaksanakan pendidikan 12 tahun secara gratis dan menyeluruh, bahkan melampaui program wajib belajar 9 tahun pemerintah pusat waktu itu.

Sekolah gratis menjadi tonggak penting dalam perjalanan kebijakan pendidikan nasional. Kini, pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025, kebijakan sekolah gratis di Muba dipandang sebagai salah satu inspirasi awal pelaksanaan program serupa secara nasional melalui skema Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diluncurkan pemerintah pusat mulai 2005 dan terus berkembang hingga BOS Kinerja dan BOS Afirmasi di 2020-an.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Pendidikan Muba, pada 2002 dana APBD yang dialokasikan untuk pendidikan mencapai Rp 131 miliar atau 20,01 persen dari total APBD Muba saat itu. Angka ini meningkat menjadi Rp 345,6 miliar pada 2007 ketika total APBD menembus Rp 1,5 triliun. Dana itu tidak hanya menanggung biaya operasional sekolah, tetapi juga memberikan insentif kepada guru, menyediakan buku gratis, serta membebaskan pungutan di sekolah negeri dan swasta.

“Kalau ada anak yang tidak bisa sekolah hanya karena tak mampu membayar, itu tanggung jawab negara,” ujar Alex Noerdin dalam wawancara bersama BeritaPagi pada 2007. Ia menyatakan prihatin atas berita seorang siswa di Pulau Jawa yang nekat bunuh diri karena tak sanggup membayar uang sekolah. “Andai dia tinggal di Muba, peristiwa itu tak akan terjadi.”

Program ini sempat diragukan banyak pihak. Dengan status Muba sebagai daerah tertinggal dan APBD-nya yang relatif kecil kala itu, banyak yang menilai langkah itu mustahil. Namun sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi, ditambah komitmen politik yang kuat, menjadi fondasi utama pendanaan. Muba kala itu mendapat bagian signifikan dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas.

Dampak program tersebut terasa nyata. Data Dinas Pendidikan Sumatera Selatan menunjukkan angka partisipasi murni (APM) pendidikan menengah di Muba meningkat dari 36 persen pada 2001 menjadi 82 persen pada 2007. Tingkat melek huruf pun melonjak, dan jumlah lulusan SMA yang diterima di perguruan tinggi negeri, termasuk melalui jalur bebas tes, meningkat signifikan.

Selain itu, Muba juga menjalin kerja sama dengan institusi nasional dan internasional, antara lain Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta untuk program “dokter santri”, Sampoerna Foundation untuk pengembangan sekolah unggul, serta lembaga seperti UNESCO, World Bank, dan British Council untuk menciptakan pendidikan inklusif.

Menjadi Contoh Nasional

Langkah Musi Banyuasin membebaskan biaya pendidikan sejak 2002 menjadi inspirasi bagi banyak daerah lain. Ketika Alex Noerdin terpilih sebagai Gubernur Sumsel pada 2008, program ini diperluas ke seluruh provinsi. Dalam tempo setahun, 16 kabupaten dan kota di Sumsel menerapkan kebijakan serupa. Tidak hanya untuk sekolah negeri, program ini juga mencakup sekolah swasta, menjadikannya yang pertama secara nasional dalam cakupan yang begitu luas.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pun mengalokasikan dana secara konsisten, seraya mengupayakan transparansi dalam penyaluran dan penggunaan anggaran pendidikan. Pada APBD Sumsel 2009, lebih dari 20 persen dana dialokasikan untuk sektor pendidikan, melebihi amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Kebijakan ini menarik perhatian nasional. Menteri Pendidikan Nasional saat itu, Bambang Sudibyo, menyebut Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi percontohan pendidikan gratis di Indonesia. Dalam satu kesempatan di Palembang, Maret 2009, Bambang mengingatkan kepala sekolah agar tidak melakukan pungutan kepada siswa. “Pendidikan gratis tidak boleh ditarik pungutan. Itu haram hukumnya,” tegasnya.

Namun demikian, ia membedakan antara pungutan dan sumbangan sukarela. “Kalau sumbangan, waktunya tidak ditentukan dan jumlahnya pun tidak ditentukan. Tapi kalau pungutan ada batas waktu dan nominal, itu tidak diperkenankan,” katanya.

Replikasi dan Tantangan

Tercatat hingga akhir 2010, setidaknya enam provinsi lain mulai mengikuti langkah Sumsel. Di antaranya Kalimantan Timur, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Namun, pelaksanaan program pendidikan gratis tidak selalu berjalan mulus. Tantangan muncul dalam hal pendanaan berkelanjutan dan pengawasan agar tidak terjadi pungutan terselubung.

Studi oleh Lembaga Penelitian SMERU tahun 2011 menyebutkan bahwa keberhasilan program pendidikan gratis sangat bergantung pada kemampuan fiskal daerah dan komitmen politik kepala daerah. Dalam kasus Sumsel dan Muba, keberhasilan ditopang oleh dana bagi hasil migas yang dikelola dengan prioritas pada sektor pendidikan dan kesehatan.

“Alex Noerdin berani memotong belanja seremonial dan birokrasi demi pendidikan dan kesehatan. Itu yang membedakannya,” ujar Arif Afandi, mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos yang sempat membedah buku ‘Berani Berubah: Laporan dari Muba’.

Warisan dan Evaluasi

Meski Alex Noerdin tidak lagi menjabat kepala daerah, warisan kebijakannya masih dibicarakan hingga kini. Di sejumlah forum pendidikan, ia kerap disebut sebagai “Bapak Pendidikan Sumsel”. Pada 2021, Universitas Sriwijaya melalui Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) memberikan penghargaan atas dedikasinya membangun sistem pendidikan gratis yang terintegrasi. Sebagai pelopor sekolah gratis, Alex juga menerima penghargaan nasional bidang pendidikan dari Kementerian Pendidikan Nasional.

Namun, pasca masa jabatannya, beberapa pengamat pendidikan menilai bahwa keberlanjutan program terhambat oleh pergeseran prioritas anggaran dan perubahan kepemimpinan. Pada 2023, Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya keluhan masyarakat terkait pungutan di sejumlah sekolah negeri di Sumsel, meski program pendidikan gratis masih diklaim berjalan.

Menjawab hal ini, Dinas Pendidikan Sumsel menegaskan bahwa anggaran pendidikan tetap dialokasikan di atas 20 persen dari APBD dan setiap pungutan wajib diklarifikasi melalui forum komite sekolah. “Kami tetap mengacu pada semangat program awal. Namun kami juga memperbaiki tata kelola agar tidak menimbulkan kesenjangan dan persepsi keliru,” kata Kepala Dinas Pendidikan Sumsel waktu itu, Riza Pahlevi.

Dua dekade sejak pertama kali dicanangkan, program sekolah gratis yang dimulai di Musi Banyuasin telah menjadi salah satu kebijakan paling berdampak dalam sejarah pendidikan daerah di Indonesia. Lebih dari sekadar slogan politik, ia menjadi gerakan sosial yang mengubah wajah Muba—dari kabupaten tertinggal menjadi daerah dengan angka partisipasi pendidikan yang terus membaik.

Kini, saat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025, semangat pendidikan gratis yang lahir dari Sekayu itu menjadi pengingat bahwa keberanian memulai dan konsistensi menjalankan kebijakan publik bisa melahirkan perubahan besar. (imhd)