Washington Siapkan Tarif Hingga 100 Persen, Trump Desak Rusia Akhiri Konflik Ukraina
JABAROKENEWS.COM, Washington — Amerika Serikat mengisyaratkan akan menjatuhkan sanksi dagang tambahan terhadap Rusia jika dalam waktu 50 hari ke depan tidak tercapai kesepakatan damai terkait konflik Ukraina. Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa Washington siap mengenakan tarif hingga 100 persen, yang ia sebut sebagai “tarif sekunder”, terhadap Moskow.
“Kami sangat tidak senang dengan [Rusia], dan kami akan mengenakan tarif yang sangat ketat jika kita tidak mencapai kesepakatan dalam 50 hari. Tarif sekitar 100 persen. Namanya tarif sekunder,” ujar Trump dalam pertemuan dengan Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte di Gedung Putih, Senin (14/7).
Setelah pernyataan itu, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menjelaskan bahwa istilah “tarif sekunder” yang digunakan Presiden merujuk pada sanksi sekunder, bukan instrumen perdagangan biasa. “Anda bisa menjatuhkan tarif, atau Anda bisa memberlakukan sanksi. Keduanya senjata itu miliknya,” kata Lutnick kepada wartawan.
Didukung RUU Bipartisan
Langkah tersebut muncul di tengah dorongan bipartisan dari Senat AS untuk menekan Rusia agar terlibat dalam proses negosiasi damai yang disebut beritikad baik. Pada April lalu, dua senator lintas partai, Lindsey Graham dan Richard Blumenthal, mengajukan rancangan undang-undang sanksi yang kini telah mendapatkan dukungan dari 85 anggota Senat.
RUU itu memuat ketentuan sanksi primer dan sekunder yang dapat dikenakan kepada Rusia, termasuk tarif hingga 500 persen terhadap barang-barang impor dari negara-negara yang tetap menjalin perdagangan minyak, gas, uranium, dan produk strategis lainnya dengan Moskow.
Pekan lalu, Trump menyatakan sedang mempertimbangkan RUU tersebut “dengan sangat matang”, namun menegaskan bahwa keputusan akhir berada di tangan presiden. Seorang pejabat senior AS kepada Politico mengatakan bahwa Trump bersedia menandatangani RUU itu, asalkan kendali pelaksanaan sanksi tetap berada di bawah otoritas eksekutif.
Langkah ini berpotensi memperluas tekanan ekonomi terhadap Rusia yang selama ini sudah dikenai berbagai sanksi sejak invasi ke Ukraina pada Februari 2022. Pemerintah Rusia belum memberikan tanggapan resmi atas ancaman sanksi terbaru dari Washington. (ihd)